Wednesday, November 19, 2008

9 Matahari

Sabtu pekan lalu saya dan seorang teman pergi ke sebuah pameran buku rutin di bilangan Senayan. Rencana kepergian itu sudah saya buat sejak beberapa pekan sebelumnya. Awalnya ingin berangkat ke sana hari Jum'at langsung dari kantor, tetapi karena waktu itu cuaca tidak mendukung, saya urungkan niat tersebut dan mengubahnya menjadi hari esoknya.

Agenda pada hari Sabtu kemarin memang relatif padat buat saya. Pagi harinya saya harus menjadi pengajar IT dulu bagi guru-guru SMA untuk acara Compfest Fasilkom. Namun, karena saya diminta untuk mengisi kembali pada sesi siangnya, akhirnya saya baru bisa berangkat pada sore harinya. Kebetulan siang itu juga teman yang ingin ikut belum datang ke Kampus.

Tidak berbeda dengan hari Jum'at. ternyata awan hitam pun masih setia menyelimuti Jakarta dan Depok. Ada keinginan untuk merubah jadwal kembali menjadi hari Minggu. Tetapi mengingat hari Minggu adalah hari khusus saya untuk berkonsentrasi pada skripsi, saya mengurungkan niat tersebut dan berlarilah saat itu juga saya ke Senayan sebelum hujan turun.

Di perjalanan, ternyata saya tak seberuntung yang saya harapkan. Hujan pun turun mulai dari skala kecil hingga sangat besar tak jauh sejauh 3 KM saya meninggalkan kampus. Ada keinginan untuk meneduh sebentar, tapi entah kenapa saat itu saya memang tak ingin berhenti. Sebuah kejadian yang tak biasa. Dalam hujan yang besar saya juga tidak berhenti.

Alhasil saya harus melewati perjalanan panjang menyusuri ibukota Jakarta yang terkenal macet apalagi saat Hujan. Menembus hujan yang seakan mengajak saya untuk berhenti. Menghiraukan kilat yang sudah semakin menjadi-jadi. Dan tak lupa tentunya meyusuri sungai-sungai yang tiba-tiba saja baru terbuat. Jakarta tenggelam.

"Insya Allah, buahnya manis". Kata-kata itu yang terucap dalam pikiran saya dalam perjalanan. Kata-kata penyemangat dalam menyusuri kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Namun saya berkeyakinan saya akan menemukan sesuatu yang hebat di sana. Dan benar saja. Menurut saya saya menemukan sesuatu yang hebat di sana. Walaupun saya mendapat musibah setelah itu: Tas saya basah(beberapa buku penting ikut basah), dan Helm raib entah kemana(untung motornya tidak, padahal kuncinya sempat tertinggal :P).

9 Matahari

Dua buku saya beli pada pameran buku tersebut. Salah satunya adalah 9 Matahari. Sebuah novel yang saya rasa dapat memberikan inspirasi kepada saya. Walaupun tetap agak aneh ketika orang yang sedang bergelut dengan skripsi mecoba mencari kesibukan lain. Tapi ya itu, Sang Maha Pencipta memang mempunyai banyak cara untuk menunjukan tanda-tanda kebesaran-Nya.

Impianku...oh aku sudah memberikan nyawa. Aku mnghidupkannya dalam hari-hariku. Ketika membuka mataku saat mengawali hari, aku menyapanya. Seperti aku menyapa matahari. Ketika beraktivitas, aku biarkan dia menyelusup ke dalam hatiku, mengintip perasaanku, dan membiarkannya berteriak bahwa ia menungguku. Aku meletakkannya dalam takhta tertinggi pikiranku. Mengalirkan lewat darahku. Membiarkan semua partikel dalam tubuhku merasakan sensasinya. Aku biarkan tanganku meraba sebentar seperti apa wujudnya. Merasakan setiap detail keindahannya. Aku biarkan hasratku semakin berkembang pesat. Tumbuh...tumbuh menjulang tinggi...Menyentuh langit, mendekati matahari...Impianku seperti pohon yang menjulang tinggi. Puncaknya menembus awan. Tapi akarnya menancap tanah. Aku membiarkan impianku itu tertanam jauh dalam hatiku. Ragaku ada di bumi, tapi kubiarkan jiwaku melesat. bersamanya jauh...Kuikuti kemana pun aku bermain...Terbang...terbanglah melayang tinggi...Seperti layang-layang yang diulur dan menari di atas sana. Kubiarkan dirimu meliuk dilihat semua mata...Sampaikan bahwa aku ADA!

Itulah sepenggal kata dalam novel 9 Matahari. Novel yang pada awalnya saya pikir memiliki cerita yang standar tetapi saya sadar bahwa setiap detail dari novel tersebut tersirat banyak arti. Kisah perjuangan mahasiswa dalam menuntut ilmu memang banyak. Dan Mba Adenita dengan baik memainkan alur cerita tentang drama potret kesulitan ekonomi akan sebuah pemenuhan terhadap cita-cita. Dahyat!!! menurut saya. Apalagi ditambah kemampuan hebat mba Adenita dalam merangkai kata. Tak heran karena toh dia sudah belajar dengan baik dan memperjuangkan menulis sebagai hobby.

Aku si calon sarjana

Agak tergelitik membaca kalimat tersebut di atas. Entah kebetulan atau apa, ada semangat yang sama dari buku ini dengan saya, yaitu lulus. Kata-kata percakapan Matari dan Arga terasa seperti sedang menasehati saya:

Lu juga hebat lagi, Tar, kita semua hebat. satu hal yang gue dapet di jalan, sukses itu bukan monopoli orang-orang tertentu kok. Kita juga berhak mendapatkannya. Kita harus menciptakannya, Tar!Matahari...Inget impian kita, kita harus menjadi matahari buat keluarga dan orang-orang di sekitar kita. Ayo Tar, kita bisa. Bukan berarti keberadaan lu di CTV saat ini tersisihkan, tapi kita semua tahu lu sedang berusaha keras mewujudkan impian lu. Kita semua juga di sini begitu. Semua berusaha masing-masing di jalannya tapi dengan satu semangat yang selalu bersama. Fokus aja sama skripsi lu ya, Tar. Jangan ngurusin yang lain-lain dulu. Kesempatan yang ada jangan disia-siain. Lu harus bikin prioritas hidup karena orang yang peduli sama prioritas hidupnya, ibarat orang yang sedang berlari, sampai ke tujuannya lebih cepat. Terus sering-sering declare juga prioritas hidup lu itu supaya makin sering diucapkan, makin nempel di kepala.

Dan sepertinya dari nasehat tersebut saya harus menjalankannya. Deadline kurang lebih satu bulan lagi. Dan saya harus mendapatkan gelar tersebut. Saya harus bisa meraihnya sebelum waktu saya habis. Saya harus bisa mengambil pelajaran dari novel ini. Untuk nilai 9 untuk saya. Demi menjadi matahari bagi keluarga, teman, dan masyarakat. Saya harus bisa.

Terima kasih untuk mba Adenita yang telah menceritakan kisahnya kepada saya. Saya sadar cerita tersebut mungkin memang berdasarkan pengalaman pribadi plus penyedap kata. dari kesadaran itu, tak terasa semua pembaca tiba-tiba seakan-akan menjadi teman curhat Matari, yang tak lain adalah Adenita itu sendiri, benar kan? :p

Kembali dari kisah hujan, ya saya sudah mendapatkan buah manisnya. dan buah manis ini akan menjadi bekal semangat dalam detik-detik perjuangan akhir di Fasilkom(Insya Allah). Teringat ilmu ikhlas yang sudah saya pelajari:

...., Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS:2:216)

~Kembali ke skripsi dulu ya... :p

Tuesday, November 11, 2008

Berita Duka dari UI

Innalillahi wa innailaihi rajiun…

Sore ini Selasa, 11 November 2008, 3 orang Pejuang Muda Universitas Indonesia (Adit FMIPA/fisika/2007, Dimas FMIPA/fisika?2007, Kholid FMIPA/fisika/2006) yang merupakan bagian dari keluarga besar Bedah Kampus UI, Danus BEM UI,FMIPA UI… telah dipanggil olehNya..

Setelah roadshow acara Bedah Kampus UI 2008 dari SMA-SMA di daerah Cibinong, tepatnya di Pintu Tol jagorawi, mobil Honda Jazz yang digunakan ketiga orang tersebut menabrak truk Air Mineral.

Dimas, yang menyetir mobil, meninggal di tempat, sekarang dilarikan ke PMI Bogor. sedangkan Kholid sempat dilarikan ke Rumah sakit Bakti Husada Cibinong, lalu meninggal di Rumah sakit. Adit, yang sempat kritis, akhirnya dipanggil olehNya..