Thursday, June 29, 2006

Salah Siapa?

Mendengar jeritan dan tangisan siswa SMA yang tidak lulus UAN memang akan membuat hati kita terpanggil untuk turut iba melihat kesedihan mereka. Usaha mereka selama 3 tahun dalam menempuh ilmu di bangku SMA dapat digoyahkan oleh 3 hari waktu ujian. Sangat ironis memang jika kita teliti lebih jauh lagi, apalagi setelah kita tahu bahwa jumlah mereka yang tidak lulus bisa dibilang tidak sedikit.

Dimana masalahnya?

Pertanyaan yang selama ini selalu terpikir di kepala penulis. Ya! Dimana masalahnya? pada pemerintahkah yang selama ini telah menetapkan aturan mainnya, pada pihak sekolahkah yang selama ini telah secara langsung mendidik para siswa, atau malahan memang disebabkan oleh para siswa itu sendiri yang telah mengangap ujian itu hanya main-main belaka, bukan menganggap ujian adalah gerbang dimana kehidupan seseorang selanjutnya dapat meningkat, seperti sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya ujian itu menaikan derajat seseorang".

Jika dilihat dari sisi pemerintah

Sebenarnya tujuan pemerintah sudah jelas yaitu ingin meninggikan kualitas SDM dari lulusan SMA yang ada. Sistem telah dirancang sedemikian rupa sehingga menghasilkan putusan berupa batasan nilai yang harus dilampaui oleh para siswa agar bisa lulus. Publikasi pun telah jauh-jauh hari telah dikeluarkan oleh pemerintah mengenai aturan main, syarat kelulusan, serta akibat jika seseorang tidak lulus. Publikasi tentang tidak adanya ujian susulan jika siswa tidak lulus pun sebenarnya sudah dari awal telah diumumkan, bahkan penulis yang bukan siswa SMA pun sudah mengetahuinya sejak awal. Begitu pula dengan program Paket-C yang diberikan sebagai alternatif jika para siswa tidak lulus, karena tidak ada ujian susulan(baca: perbaikan) para siswa diberikan pilihan untuk mengulang di SMA yang bersangkutan atau dengan mengikuti program Paket C. Mungkin jika dilihat dari tulisan di atas, ada anggapan penulis terlalu memihak kepada pemerintah. Penulis merasa pemerintah sudah cukup benar dalam menetapkan aturan-aturan tersebut, karena :

1. masalah batasan nilai
Batasan nilai sebagai saringan. Jika pada saringan tersebut terdiri dari lubang-lubang yang besar, buat apa ada saringan? toh semuanya dapat melewati saringan tersebut, dan tak ada pembeda antara yang besar dan yang kecil, yang pintar dan yang bodoh, yang pantas lulus dan yang tidak pantas. Jadi aturan batasan nilai yang dikeluarkan oleh pemerintah sangat masuk akal dalam arti guna mencari manusia-manusia yang unggul dalam menghadapi era globalisasi ini.
2. masalah tidak adanya ujian susulan
Di dalam hidup ini, jika kita gagal dalam menghadapi ujian maka kita tidak bisa kembali atau memutar kembali waktu untuk mengulangi hidup dan memperbaiki kesalahan kita. Seperti itulah juga harusnya ujian sekolah kita, tidak ada yang namanya perbaikan. Karena jika siswa mengetahui akan ada ujian perbaikan maka usaha yang siswa berikan akan tidak maksimal pada ujian dan pasti ada selentingan seperti ini "ah, ada perbaikan ini. Santai aja lagi!". Jika hasrat tidak tinggi mana mungkin para siswa dapat menghadapi ujian sebenarnya dalam hidup ini.

Tapi bukan berarti pemerintah tanpa cela atau bersih dari masalah, ada satu point yang sangat mengganjal yaitu tentang Paket C. Ada ketidakjelasan tentang program ini, baik itu prosedur-nya, prosesnya serta jaminan lulusan dari program ini, apakah akan diterima oleh perguruan tinggi(PT) atau tidak. Lagi-lagi kesalahan ini akibat dari kurangnya kordinasi antara pemerintah dengan perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN.

Dari sisi sekolah

Sekolah pun sudah merancang secara jeli apa-apa saja program yang paling tepat untuk dikembangkan di sekolahnya. Mulai dari ujian Try-Out yang menurut penulis merupakan ujian bayangan karena sebagian soalnya adalah sama (tidak persis) dengan ujian aslinya. Program bimbingan sudah digalakan dari jauh-jauh hari, pendalaman materi dan sebagainya yang bertujuan mendongkrak prestasi siswa telah dilakukan. Segala keuntungan untuk siswa telah diberikan oleh pihak sekolah, karena langsung maupun tidak langsung nama baik sekolah bergantung dari tingkat kelulusan siswanya. Oleh karena itu sekolah berani memberikan kemudahan yang penulis anggap sebagai kemudahan yang tidak perlu karena juga akan mematikan tujuan dari ujian itu sendiri. Penulis beranggap sekolah telah menjual idealisme dan visi dan misi mereka dengan nama baik. Tapi penulis juga merasa bingung sendiri karena kenapa setelah pihak sekolah telah berikan kemudahan tetap saja angka ketidaklulusan tetaplah tinggi. Bingung, bingung, dan bingung.

Dari sisi siswa

Penulis beranggapan masalah yang sebenarnya adalah pada sisi ini. Para siswa yang menentukan hidup mereka sendiri, telah diberikan kemudahan oleh pihak sekolah tetapi tidak bisa memanfatkanya. Seharusnya mereka bisa lebih siap lagi dalam menghadapi ujian, lebih mempersiapkan, lebih, dan lebih. Karena dengan persiapan yang matang semua ujian itu bukanlah masalah yang berarti. Penulis sempat kesal juga dengan pernyataan dari siswa yang tidak lulus saat demo di bandung, pernyataannya kurang lebih seperti ini:
"Saya sudah bersusah payah belajar tiga tahun, 7 hari seminggu, 24 jam dalam satu hari, tapi kenapa saya dikalahkan dengan waktu tiga hari ujian"
Penulis hanya bisa bilang "Tanya Kenapa?" kenapa jika sudah susah payah tetap tidak lulus, apakah susah payahnya hanya dengan kata-kata saja? Atau dia baru sadar kata ujian itu sendiri? kenapa dia menyesali adanya ujian yang tiga hari dapat mengalahkan kesusahpayahan dia selama tiga tahun? Tapi menurut saya siswa ini sudah cukup pintar karena bisa menyebut jumlah hari dalam seminggu dan juga jumlah jam dalam sehari. Tetapi tidak baik juga jika terlalu memojokkan siswa karena penulis merasa siswa juga punya kebaikan dan kekurangan yang seharusnya bisa dicermati lebih jauh.

Jadi kesimpulannya semua elemen yang disebutkan oleh penulis di atas punya partisipasi dalam porsi kesalahan. Semuanya salah! bahkan mungkin penulis pun salah karena tidak mencermati isu ini sebelumnya. Ya! semuanya salah! tidak ada yang benar di sini! Jadi penulis berharap tidak akan adanya sikap saling salah-menyalahkan, tidak ada saling meng-kambinghitamkan masalah. Yang penulis inginkan adalah kedepannya proses pendidikan kita dapat lebih baik dan memperoleh SDM-SDM yang unggul guna mencapai tujuan kita semu yaitu Indonesia yang maju dan berkembang. Penulis merasa senang sekali jika semuanya dapat duduk bersama dalam memecahkan maslah ini dan tidak membiarkan jamur saling menyalahkan berkembang lagi di bumi Indonesia ini. Akhir kata, penulis memohon maaf atas semua kesalahan yang penulis perbuat pada artikel ini. Penulis menulis artikel ini agar Indonesia dapat lebih maju dan berkembang lagi.
Hidup Indonesia! Hidup Pendidikan Indonesia! Hidup Mahasiswa! Hidup OrKreS!


3 comments:

adit said...

Hoi gw dah punya blog niy...hehehe..

hmmm, pandangan elo lumayan oke juga tentang uan *gw sok tau*
tapi kalo menurut gw pribadi kesalahan terbesar terletak pada pemerintah. kenapa? karena pemerintah hanya memikirkan uan secara jangka pendek, tapi tidak untuk jangka panjang. ga cuma uan, tapi sebagian besar kebijakan pemerintah seperti itu.

Anonymous said...

beu..berat bgt tulisannya.
kasian juga sih..udah 3 tahun -yg mungkin aja dilewati dengan menggencet adik kelas (ups..)- ternyata menerima sebuah surat yg tulisan di dalamnya: TIDAK LULUS (dengan bold pula).
tapi..kalau pemerintah ngadain ujian ulangan, kan lebih ga adil lagi. buat apa mereka susah payah lulus kalau ternyata ada ujian lagi...kayak di jaman kita, inget kan??

Anonymous said...

Sok tau u dit....he..he..he.. becanda.
Menurut gw pemerintah dgn netapin standar itu dy justru lbh mikirin jangka panjang untuk meningkatkan kualitas lulusan SMA dr Indonesia. Lagian patokan ini khan dah disosialisasikan dari jauh2 hari, dan mereka bukan yg pertama, sebab dari tahun kemaren dah di wanti-wanti. Klo soal tahun kemaren ada ujian ulang di bawah

Buat intan, gw stuju sm pwendapat u...Klo pemerintah ngadain ujian terus ga ada gunanya sistem kayak gini. OK, tahun kemaren ada ujian ulang, soalny mereka awal2, klo terus-terusan ada ujian ulang kapan berentiny. Harus ada satu titik dimana itu harus dihentikan. Menurut gw kalo bukan tahun ini akan sangat terlambat untuk menghentikannya

Jadi intiny gw se7 sama Intan n penulis(Smell), kita ga bs total nyalahin pemerintah. Satu-satuny blunder pemerintah adalah ocehan Pak Yusuf Kalla yg harusny bisa bersikap lebih bijak malah ngeluarin komen yg nyakitin siswa/i yg lagi stress