Maha Suci Allah Yang telah menurunkan Islam melalui Rasul-Nya yang mulia. Islam menjadi bukan sekadar indah. Tapi, mudah dan penuh berkah. Seperti halnya hujan, siraman Islam mampu menumbuhkan bibit-bibit kebaikan yang pernah dianggap mati. Setiap orang akan menuai apa yang ditanam Tidak semua orang mampu berpikirpanjang. Apalagi dengan perhitungan yang teliti. Itulah kenapa tidak sedikit yang melakukan sesuatu cuma buat keuntungan sesaat. “Yang penting saya untung, peduli amat orang lain!”
Para pedagang, baik barang dan jasa, paham sekali rumus ini. Kalau mereka ingin mendapat kebaikan dari konsumen, pancingannya pun dengan sesuatu yang baik. Ada pedagang yang menyediakan air minum kemasan gratis, keramahan para pelayan, bahkan ruangan khusus untuk menunggu. Mereka menganggap: konsumen adalah raja.
Dalam dakwah pun seperti itu. Dakwah akan diterima mudah jika seluruh kemasannya selalu baik: penyampaian yang santun, isi yang tidak meresahkan, perhatian yang tidak pernah putus, dan tentu saja, bukti kongkrit si penyampai yang selalu baik. Kalau ini yang terus bergulir, para pelaksana dakwah tidak perlu repot-repot mengarahkan ke mana suara umat saat partisipasi mereka dibutuhkan.
Jika kita tidak ingin keburukan, begitu pun orang lain Semua orang ingin mendapatkan yang baik. Begitu pun sebaliknya. Tak ada yang ingin dapat yang buruk. Cuma masalahnya, sikap itu tidak diiringi dengan aksi yang positif. Ketika dapat ingin yang baik, tapi saat memberi selalu yang buruk.
Sebenarnya, ketika seorang melakukan sesuatu yang buruk, saat itu juga ia sedang berharap ada keburukan yang akan ia terima. Disadari atau tidak. Sayangnya, jarang yang mau bercermin diri: apa yang telah saya lakukan. Lebih banyak mana: baik atau buruk. Baru kemudian, kenapa orang lain berbuat buruk pada saya?
Al-Qur’an bahkan mengajarkan untuk membalas keburukan dengan cara yang terbaik. Allah swt. berfirman dalam surah Fushilat ayat 34.
Itulah yang dilakukan Rasulullah saw. saat penaklukan Mekah. Tak seorang pun yang ditakut-takuti, disiksa, atau hukum mati tanpa sebab. Justru, yang keluar dari mulut Rasulullah saw. adalah pengampunan dan perdamaian. Inilah yang menjadikan Mekah berubah seratus delapan puluh derajat. Drastis! Orang yang dulu memusuhi Islam menjadi pembela Islam.
Berpikirlah apa yang bisa diberikan, bukan yang diterima Semangat berbuat baik memang tidak akan tumbuh dari mereka yang punya sikap pasif. Ketika yang dipikirkan seseorang cuma bagaimana menerima, darimana datangnya penerimaan; seluruh otot aktivitasnya menjadi mandul. Semangat berbuat baiknya sudah mati sebelum fisiknya benar-benar mati.
Tentunya, sulit mendapatkan sesuatu yang positif dari orang tipe ini. Jangankan membalas keburukan dengan kebaikan, mengawali kebaikan pun terasa berat. Semua aktivitasnya terkungkung dalam kalkulator sempit. Hitungannya selalu pada keuntungan materi sesaat. Bukan sesuatu yang lebih mahal dari sekadar materi. Antara lain, ketenangan, keharmonisan, cinta dan persaudaraan.
Tokoh Anwar Ibrahim mungkin salah satu contoh baik. Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia ini pernah difitnah secara keji. Tidak tanggung-tanggung, ia dituduh pelaku korupsi dan kejahatan homoseksual. Namun, seluruh warga tempat tinggalnya siap menjadi saksi: bahwa Anwar mustahil seperti yang dituduhkan. Itulah buah baik yang selama ini telah ditanam Anwar. Masyarakat sekitarnya, tanpa diminta pun, siap menjadi pembela.
Siapkan awal buat akhir, bukan sebaliknya Seorang mukmin punya visi tersendiri tentang amal kebaikan. Kebaikan bukan sekadar tuntutan pergaulan universal, tapi sebagai bekal di hari kemudian. Itulah investasi atau tabungan yang tidak pernah rugi.
Allah swt. berfirman,
Maha Benar Allah swt. dalam firman-Nya,
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri….”(Al-Isra’:7)Padahal, alam mengajarkan bahwa aksi sama dengan reaksi. Apa yang diterima alam, itulah yang akan diberikan ke manusia. Ada banjir karena keseimbangan alam terganggu: penebangan hutan, buang sampah ke sungai, dan lain-lain. Begitu pun dalam pergaulan sesama manusia. Kita akan menerima apa yang telah kita berikan. Jika kebaikan yang kita berikan, balasannya pun tak jauh dari kebaikan. Bahkan, mungkin lebih.
Para pedagang, baik barang dan jasa, paham sekali rumus ini. Kalau mereka ingin mendapat kebaikan dari konsumen, pancingannya pun dengan sesuatu yang baik. Ada pedagang yang menyediakan air minum kemasan gratis, keramahan para pelayan, bahkan ruangan khusus untuk menunggu. Mereka menganggap: konsumen adalah raja.
Dalam dakwah pun seperti itu. Dakwah akan diterima mudah jika seluruh kemasannya selalu baik: penyampaian yang santun, isi yang tidak meresahkan, perhatian yang tidak pernah putus, dan tentu saja, bukti kongkrit si penyampai yang selalu baik. Kalau ini yang terus bergulir, para pelaksana dakwah tidak perlu repot-repot mengarahkan ke mana suara umat saat partisipasi mereka dibutuhkan.
Jika kita tidak ingin keburukan, begitu pun orang lain Semua orang ingin mendapatkan yang baik. Begitu pun sebaliknya. Tak ada yang ingin dapat yang buruk. Cuma masalahnya, sikap itu tidak diiringi dengan aksi yang positif. Ketika dapat ingin yang baik, tapi saat memberi selalu yang buruk.
Sebenarnya, ketika seorang melakukan sesuatu yang buruk, saat itu juga ia sedang berharap ada keburukan yang akan ia terima. Disadari atau tidak. Sayangnya, jarang yang mau bercermin diri: apa yang telah saya lakukan. Lebih banyak mana: baik atau buruk. Baru kemudian, kenapa orang lain berbuat buruk pada saya?
Al-Qur’an bahkan mengajarkan untuk membalas keburukan dengan cara yang terbaik. Allah swt. berfirman dalam surah Fushilat ayat 34.
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.”Ini memang berat. Ajaran ini lebih tinggi dari sekadar kebaikan berbalas kebaikan, dan keburukan berbalas hal serupa. Lebih dari itu, memberikan reaksi dari sebuah keburukan dengan sudut pandang positif. Dan hasilnya sangat luar biasa. Keburukan bukan hanya hilang, tapi berganti dengan kebaikan.
Itulah yang dilakukan Rasulullah saw. saat penaklukan Mekah. Tak seorang pun yang ditakut-takuti, disiksa, atau hukum mati tanpa sebab. Justru, yang keluar dari mulut Rasulullah saw. adalah pengampunan dan perdamaian. Inilah yang menjadikan Mekah berubah seratus delapan puluh derajat. Drastis! Orang yang dulu memusuhi Islam menjadi pembela Islam.
Berpikirlah apa yang bisa diberikan, bukan yang diterima Semangat berbuat baik memang tidak akan tumbuh dari mereka yang punya sikap pasif. Ketika yang dipikirkan seseorang cuma bagaimana menerima, darimana datangnya penerimaan; seluruh otot aktivitasnya menjadi mandul. Semangat berbuat baiknya sudah mati sebelum fisiknya benar-benar mati.
Tentunya, sulit mendapatkan sesuatu yang positif dari orang tipe ini. Jangankan membalas keburukan dengan kebaikan, mengawali kebaikan pun terasa berat. Semua aktivitasnya terkungkung dalam kalkulator sempit. Hitungannya selalu pada keuntungan materi sesaat. Bukan sesuatu yang lebih mahal dari sekadar materi. Antara lain, ketenangan, keharmonisan, cinta dan persaudaraan.
Tokoh Anwar Ibrahim mungkin salah satu contoh baik. Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia ini pernah difitnah secara keji. Tidak tanggung-tanggung, ia dituduh pelaku korupsi dan kejahatan homoseksual. Namun, seluruh warga tempat tinggalnya siap menjadi saksi: bahwa Anwar mustahil seperti yang dituduhkan. Itulah buah baik yang selama ini telah ditanam Anwar. Masyarakat sekitarnya, tanpa diminta pun, siap menjadi pembela.
Siapkan awal buat akhir, bukan sebaliknya Seorang mukmin punya visi tersendiri tentang amal kebaikan. Kebaikan bukan sekadar tuntutan pergaulan universal, tapi sebagai bekal di hari kemudian. Itulah investasi atau tabungan yang tidak pernah rugi.
Allah swt. berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hasyr:18)Masalahnya, kesadaran itu kadang larut dengan gemerlap dunia materialistis. Kebaikan bergeser dari tabungan buat akhirat menjadi hitung-hitungan untung rugi. Berapa yang telah dikeluarkan, dan berapa yang akan diterima. Inilah akhirnya, orang menjadi miskin bekal. Jika itu yang terjadi, kesudahan selalu berujung pada penyesalan.
Maha Benar Allah swt. dalam firman-Nya,
“Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Al-Zalzalah:7-8)~syukron katsiron buat mas beny
1 comment:
Ok deh...Bagus juga posting2 nya....
Post a Comment